PENDAHULUAN
Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah), dan diam (taqririyah atau sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadits, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi rujukan bagi da’i dan pendidik. Dari hadits tersebut mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai yang mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang mendorong orang melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Seluruh umat Islam telah menerima paham, bahwa hadits Rasulullah Saw. Itu sebagai pedoman hidup yang utama, setelah al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits. Hadits berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum hukum Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami hukum Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Maka dari itu, penulis merasa penting untuk menguraikan tentang bagaimana posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Hadits menurut bahasa berarti “al-Jadiid”, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Lawan kata al-Hadits adalah al-Qadiim, artinya sesuatu yang lama.
Hadits juga berarti khabar (berita), yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Disamping pengertian tersebut, M.M. Azami mendefinisikan bahwa kata hadits, secara etimologi (lughawiyah), berarti komunikasi, kisah, percakapan religius atau sekuler, historis atau kontemporer.
Sedangkan secara terminologi, para ulama baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya.
Ulama hadits mendefinisikan hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi Saw, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.
Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, selain al-Qur’an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum syara’.
Adapun menurut istilah para fuqaha, hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi Saw yang tidak bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardlu atau wajib.
Perbedaan pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadits, yakni pengertian terbatas dan pengertian luas. Pengertian hadits secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur al-Muhaditsin, adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Adapun pengertian hadits secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfudz at-Tirmidzi, adalah Sesungguhnya hadits bukan hanya yang dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad Saw, melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi’in).
Kebanyakan para muhadditsin, baik yang termasuk aliran modern maupun yang termasuk aliran kuno (salaf), berpendapat bahwa istilah hadits, khabar dan sunnah muradif (sinonim), walaupun di sana-sini ada Ulama yang membedakan, namun perbedaan itu tidak prinsipil.
Jadi, pengertian hadits berdasarkan uraian di atas, penulis sepakat dengan pengertian yang disampaikan oleh Ulama ahli ushul, sedangkan tentang istilah hadits penulis sepakat dengan mayoritas muhadditsin, yang menyebutkan antara hadits, khabar dan sunnah adalah sinonim (persamaan kata).
B. Hadits sebagai sumber hukum Islam
Hukum islam adalah firman syari’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain.
Pengertian hukum Islam menurut Ushul fiqih ialah firman (nash) dari pembuat syari’ baik firman Allah maupun hadits Nabi Saw.
Hukum Islam meliputi:
1. Hukum taklifi
Adalah hukum-hukum yang mengandung tuntutan yang berupa perintah, larangan atau keizinan, yakni:
a. Ijab (wajib)
b. Nadb (anjuran)
c. Tahrim (larangan)
d. Karahah
e. Ibahah (kebolehan)
2. Hukum Wadh’i
Ialah hukum yang dijadikan sebab atau syarat atau penghalang terhadap pekerjaan atau hukum-hukum yang dijadikan sebagai hasil dari perbuatan-perbuatan itu, seperti sah, batal, rukhsah dan ’azimah.
Dasar Hukum Islam dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan perundang-undangan Islam adalah al-Qur’an, hadits dan Ijtihad.
al-Qur’an sebagai pokok hukum merupakan dasar pertama dan hadits sebagai dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah atau derajat, al-Qur’an lebih tinggi rutbah derajatnya dari hadits.
1. Dalil kehujjahannya Hadits
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Diantaranya ialah:
a. Dalil al-Qur’an
•
•
Artinya: ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.S. al-Hasyr: 7)
•
Artinya: ”Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (Q.S. al-Imran: 32)
Artinya: ”Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah”....(Q.S. an-Nisa’: 64)
Bentuk-bentuk ayat seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban taat terhadap semua yang disampaikan oleh Rasul Saw. Dan dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat Islam.
b. Dalil Hadits
Artinya: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Malik)
Hadits diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits/ menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada al-Qur’an.
c. Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum Islam, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Islam.
Kesepakatan umat Muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah Saw masih hidup. Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa’ al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Contoh peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam adalah:
“Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Usman bin Affan berkata : ”saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah Saw, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul.
d. Sesuai dengan petunjuk akal atau berdasarkan logika.
Bahwa al-Qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta, sedang hadits berasal dari hamba dan utusan-Nya, maka sudah selayaknya bahwa yang berasal dari sang Pencipta itu lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba / utusan-Nya.
2. Pembagian Hadits
Dilihat dari segi jumlah rawinya dalam kajian Ushul Fiqih dibagi kepada dua macam, yaitu:
a. Hadits Mutawatir
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan mereka tidak mungkin sepakat bohong, dengan perawi yang sama banyaknya hingga sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Saw.
Contohnya sunnah fi’liyah (perbuatan) tentang rincian cara melakukan shalat, rincian haji, dan lain-lain yang merupakan syiar agama Islam yang secara berturut-turut diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hadits mutawatir terbagi dua macam
1) Hadits mutawatir lafdzy
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang bersamaan dengan arti dan lafalnya.
Contoh:
Artinya: “Barangsiapa berbohong atas diriku dengan sengaja (memalsukan hadits), maka bersiap-siaplah bertempat tinggal di neraka”.
Menurut Imam zakaria Muhyidin ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), ahli hadits dan ahli fiqih dari kalangan syafi’iyah, hadits tersebut diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua ratus orang sahabat.
2) Hadits mutawatir ma’nawy
Ialah beberapa hadits yang beragam redaksinya tetapi maknanya sama.
Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengangkat tangannya dalam setiap berdoa. Hadits tersebut diriwayatkan dalam berbagai peristiwa dan dalam berbagai redaksi antara lain diriwayatkan oleh Tirmidzi.
b. Hadits Ahad
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, tetapi jumlahnya tidak sama dengan yang meriwayatkan hadits mutawatir. Sesudah generasi sahabat tersebut, hadits itu diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih generasi tabi’in dan seterusnya sama oleh generasi tabi’ tabi’in. Hadits ahad adalah yang terbanyak jumlahnya dalam kitab-kitab hadits.
Hadits Ahad terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1) Hadits masyhur
Yaitu hadits yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh tiga orang perawi, tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya hadits itu menjadi hadits mutawatir dilihat dari segi jumlah perawinya.
Contoh: hadits yang diriwayatkan Umar
Artinya: “Sesungguhnya sahnya suatu perbuatan amal tergantung pada niat, dan bagi setiap orang apa yang menjadi niatnya”.
2) Hadits ’Aziz
Yaitu yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang meskipun pada periode-periode yang lain diriwayatkan oleh banyak orang.
Contoh:
Artinya: “Menuntut ilmu itu adalah merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam baik laki-laki atau perempuan”.
3) Hadits Gharib
Yaitu hadits yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap periode sampai hadits itu dibukukan.
Contoh:
Artinya; “Belum dianggap sempurna iman seseorang diantara kamu sehingga aku lebih disukai olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia”.
Dari kedua pembagian hadits tersebut, para Ulama ushul fiqih sepakat bahwa hadits Mutawatir adalah sah dijadikan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat tentang keabsahan hadits Ahad sebagai sumber hukum.
Dilihat dari segi kualitas atau integritas perawinya, dibagi menjadi tiga macam:
a. Hadits Sahih
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yaitu orang yang senantiasa berkata benar dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian yang sempurna, sanad (mata rantai yang menghubungkannya) bersambung sampai kepada Nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat dan tidak pula berbeda bahkan bertentangan dengan periwayatan orang-orang yang terpercaya.
b. Hadits Hasan
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil (dapat dipercaya), tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat dan tidak pula berbeda atau bertentangan dengan periwayatan yang disampaikan oleh orang yang terpercaya.
c. Hadits Dha’if
Adalah yang tidak memenuhi syarat yang dipunyai oleh hadits sahih dan hadits hasan. Hadits dha’if banyak macamnya, yang terlemah adalah hadits maudhu’.
Jadi, Hadits yang mempunyai martabat tertinggi dalam kedudukannya sebagai sumber atau dalil hukum adalah hadits yang qath’i dari segi wurud atau sanadnya, yaitu kebenaran materinya datang dari Nabi dan qath’i dari segi dilalah atau penunjukannya terhadap hukum. Namun jumlah hadits yang qath’i ini sangat terbatas. Adapun yang banyak jumlahnya adalah hadits dhanni dari segi materinya atau dari segi dilalah (penunjukkan)nya atau dari segi keduanya.
Menurut Abdul Karim Zaidan dan Abdul Khalaf hadits yang digolongkan kepada qath’i al-Wurud ini adalah mutawatir. Sebab hadits-hadits mutawatir ini tidak diragukan kebenaran bahwa pasti datang dari Nabi Saw. Sementara itu hadits mashur dan ahad yang digolongkan kepada dzanni al-Wurud.
3. Apakah hadits sebagai sumber yang berdiri sendiri?
Jawaban yang memadai atas pertanyaan apakah hadits sekedar pelengkap bagi al-Qur’an ataukah sumber yang berdiri sendiri menuntut kejelasan tentang hubungan hadits dengan al-Qur’an dalam tiga kapasitas berikut:
a. Hadits dapat berupa ketentuan-ketentuan yang hanya mengkonfirmasikan dan mengulangi pernyataan al-Qur’an, dimana ketentuan-ketentuan tersebut bersumber dari al-Qur’an, dan hadits semata memperkuatnya. Seperti semua hadits mengenai lima rukun Islam dan masalah-masalah lain seperti hak-hak orang tua, persoalan hak milik orang lain dan hadits-hadits yang mengatur ketentuan tentang pembunuhan, pencurian dan kesaksian palsu, dan sebagainya, pada dasarnya menegaskan kembali prinsip-prinsip al-Qur’an mengenai masalah-masalah ini.
Contohnya, hadits yang menyatakan bahwa tidak sah mengambil harta seorang Muslim tanpa izinnya.
Hadits disini sekedar mengkonfirmasikan al-Qur’an dalam surat an-Nisa’ ayat 29 yang memerintahkan umat Islam untuk tidak sekali-kali memakan harta orang lain dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Sumber dari ketentuan ini adalah al-Qaur’an, dan karena itu, hadits tadi semata menegaskan kembali al-Qur’an, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ia (hadits) merupakan otoritas yang berdiri sendiri.
b. Hadits dapat berupa penjelasan atau klarifikasi bagi al-Qur’an, ia bisa menjelaskan nash al-Qur’an yang mujmal, mengkualifikasikan pernyataan-pernyataannya yang mutlaq atau menspesifiakasikan term-term yang ‘amm. Inilah sebenarnya peran yang dimainkan hadits dalam kaitan dengan al-Qur’an, ia menjelaskannya.
Misalnya, melalui hadits jenis ini istilah-istilah dalam al-Qur’an seperti salat, zakat, haji, riba dan sebagainya memperoleh makna yuridis (syar’i)nya. Yang mana dalam kaitan dengan transaksi jual-beli, al-Qur’an hanya menyatakan bahwa jual-beli adalah halal dan sebaliknya riba adalah haram. Prinsip umum ini belakangan dijelaskan oleh hadits yang menguraikan ketentuan-ketentuan rinci mengenai jual-beli, termasuk syarat-syarat, macam-macam dan jenis-jenis jual-beli yang terhitung riba.
c. Hadits dapat berupa ketentuan-ketentuan yang tidak disinggung oleh al-Qur’an, dimana ketentuan-ketentuan tersebut bersumber pada hadits itu sendiri. Variasi hadits atau sunnah ini, yang disebut sunnah al-mu’assisah, atau ”sunnah pembentuk” tidak mengkonfirmasikan ataupun menyangkal al-Qur’an, dan isi-isinya tidak bisa diruntut kepada kitab suci. Hanya variasi hadits inilah yang tidak termasuk inti perdebatan apakah hadits merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri atau tidak.
Misalnya, larangan poligami dengan bibi pihak ibu atau pihak ayah dari istri (sering disebut sebagai hubungan yang haram), bagian nenek dalam warisan, hukuman rajam, yakni hukuman mati dengan dilempari batu bagi pezina muslim yang telah kawin, semua bersumber dari ketentuan hadits, karena al-Qur’an sendiri tidak menyinggung masalah-masalah ini.
Ada beberapa ketidaksepakatan di kalangan fuqaha apakah hadits merupakan sumber yang berdiri sendiri? Beberapa ulama abad-abad belakangan (al-mutakh-khirun), termasuk al-Syatibi dan al-Syaukani, berpendapat bahwa hadits adalah sumber yang berdiri sendiri. Misalnya, al-Qur’an pada lebih dari satu tempat memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya (an-Nisa’ ayat 58 dan 80, al-Maidah ayat 92). Kenyatan bahwa ketaatan kepada Nabi secara khusus diperintahkan sesudah ketaatan kepada Allah memperkuat kesimpulan bahwa taat kepada Nabi berarti taat kepadanya kapan saja ketika dia menyuruh atau melarang sesuatu yang tidak disinggung-singgung oleh al-Qur’an. Inilah bukti terhadap pendapat yang disampaikan oleh ulama al-mutakh-khirun termasuk syatibi dan al-Syaukani bahwa hadits itu independent.
Misalnya hadits yang meriwayatkan bahwa sebagian anak kecil itu di siksa pada hari kiamat, hal itu disampaikan oleh kaum Azariqah dari golongan khawarij mengenai anak-anaknya orang musyrik, seperti hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi ditanya tentang masa depan anak-anak yang meninggal, Nabi bersabda: ”Allah itu lebih mengetahui apa yang mereka lakukan. hadits tersebut tertolak, karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.
Sedangkan dalil al-Qur’an yang bertentangan dengan hadits yang bertolak tersebut adalah misalnya surat Ghofr ayat 17 yaitu:
اليوم تحزى كل نفس بما كسبت لاظلم اليوم
Jadi, syarat hadits yang diriwayatkan itu maknanya tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat baik dari al-Qur’an maupun hadits yang mutawatir.
C. Hadits yang dapat dijadikan rujukan dalam penetapan Hukum
Umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi Saw. Itu dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dalam hadits.
Agar hadits dapat berfungsi sebagaimana tujuan diatas, maka kita harus memastikan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Saw. Ilmu hadits telah menjelaskan bahwa hadits yang dijadikan sandaran harus berkualitas sahih atau hasan. Istilah sahih mirip dengan yudisium ”istimewa” atau ”baik sekali” dalam nilai akademik, sedangkan hasan mirip denga yudisium ”baik” atau ”cukup”. Oleh karena itu, hadis hasan yang memiliki kualitas tertinggi mendekati sahih, sedangkan yang terendah mendekati hadits dha’if (lemah).
Para ulama sepakat bahwa syarat ini harus dipenuhi oleh hadits-hadits yang dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum-hukum syari’at praktis, yang merupakan tiang ilmu fiqih dan dasar dalam menentukan halal dan haram. Namun mereka berbeda pendapat mengenai hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhail al-’amal), zikir (doa-doa), ungkapan-ungkapan yang menggugah keimanan (raqaiq), anjuran dan ancaman (targib wa tarhib), dan lain sebagainya, yang tidak masuk dalam bab penetapan hukum syara’ (tasyri’). Diantara ulama salaf, ada yang bersikap longgar dalam meriwayatkannya dan tidak menganggap keliru dalam mengungkapkannya.
Namun, kelonggaran dalam meriwayatkan hadits-hadits seperti di atas tidaklah berlaku mutlak, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu dalam bidang apa hadits itu berbicara, juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun, banyak orang yang menyalahgunakannya sehingga ke luar dari jalur yang benar dan mencemari kesucian sumber Islam yang suci.
Jadi, disini dalam menetapkan sebuah hukum Islam harus lebih teliti untuk memilih hadits yang akan dijadikan sebagai rujukan, apakah hadits itu sahih, hasan atau dha’if. Jika termasuk hadits sahih, tidak perlu diperbincangkan lagi. Jika sanadnya lemah, para ahli hadits sepakat bahwa hadits dha’if hanya boleh digunakan untuk anjuran dan ancaman (at-targib wa tarhib), seperti termuat dalam kitab al-Adzkar karya an-Nawawi, Insan al-’Uyun karya Ali bin Burhanuddin al-Halabi, al-Asrar al-Muhammadiyah karya Ibn Fahruddin ar-Rumi, dan yang lainnya.
D. Urgensi Hadits dalam Hukum Islam
Penegasan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam ini sangat strategis bagi upaya revitalisasi hukum Islam. Karena sebagian besar hukum Islam bersumber pada hadits. Terlebih lagi, hadits atau sunnah banyak menjadi dalil bagi berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya pengaturan hubungan penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam dengan negara lain, pengangkatan hakim (qadhi) dan sebagainya.
Dari hadits, kita akan dapat memahami sistem ekonomi Islam, misalkan tentang kepemilikan individu, umum dan negara, pendapatan dan belanja negara, keharusan pemenuhan kebutuhan pokok individu, sandang, pangan, dan papan, kewajiban negara untuk menjamin pendidikan, keamanan, dan kesehatan dan sebagainya.
Dari hadits atau sunnah kita akan dapat memahami secara rinci sistem interaksi dan pergaulan pria dan wanita, misalkan berbagai hukum tentang melamar (khitbah) calon istri, hukum nikah, hukum nasab (garis keturunan), hukum cerai, hukum silaturrahim dan seterusnya.
Dari hadits pula kita akan dapat memahami secara rinci sistem pendidikan Islam untuk membentuk generasi muda yang berkepribadian Islam dan cakap menghadapi kehidupan dengan berbagai bekal pengetahuannya.
Hadits adalah sumber kedua dalam Islam, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi rujukan bagi da’i dan pendidik. Dari hadits, mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai yang mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang mendorong orang melakuakn kebaikan dan menjauhi keburukan.
Dengan demikian, posisi strategis hadits sangat jelas dalam hubungannya dengan penerapan hukum Islam dalam segala aspeknya. Sebaliknya, tanpa hadits atau sunnah, jangan dibayangkan akan ada pelaksanaan hukum Islam yang benar dan paripurna dalam kehidupan. Ringkas kata, tak ada hukum Islam dan sekaligus revitalisasi hukum Islam tanpa hadits.
E. Golongan yang menolak hadits sebagai sumber hukum Islam
Walaupun telah jelas dalil-dalil dan alasan-alasan yang menunjukkan bahwa hadits itu merupakan salah satu sumber hukum Islam, akan tetapi ada juga segolongan kecil dari umat Islam yang menolak terhadap hadits sebagai sumber Hukum Islam.
Imam Syafi’i dalam kitabnya ”al-Umm” telah menguraikan panjang lebar tentang alasan-alasan yang dipergunakan oleh golongan yang menolak hadits Nabi tersebut, kemudian beliau mengemukakan bantahan-bantahannya lengkap dengan alasan-alasannya.
Imam Syafi’i, karena jasa dan peranannya yang sangat besar dalam membela hadits sebagai dasar hukum Islam tersebut, telah digelari sebagai ”Penolong hadits” (ناصرالحديث).
Beliau, walaupun tidak secara jelas menyebut nama-nama golongan atau orang yang menolak hadits itu, tetapi beliau telah membagi golongan yang menentang hadits tersebut kepada tiga golongan. Yaitu:
a. Golongan yang menolak hadits seluruhnya, baik yang mutawatir maupun yang ahad.
Menurut Abu Zahrah, mereka itu adalah dari kaum Zindiq dan sebagian dari Khawarij.
b. Golongan yang menolak hadits, kecuali jika hadits tersebut ada persamaannya dengan al-Qur’an.
Menurut analisis Imam Syafi’i, bahwa golongan ini ada dua kemungkinan landasan berpikirnya. Yaitu:
1) Mereka secara apriori menolak hadits, terkecuali memang ada nash al-Qur’an yang sama mengenai lafadznya atau makna jiwanya dengan hadits tersebut.
Bila demikian, maka mereka ini pada hakikatnya sama dengan golongan yang pertama, yakni golongan yang menolak hadits seluruhnya. Sebab, jika mereka baru mau menerima hadits apabila ada persamaannya dengan al-Qur’an, maka yang menjadi hujjah, pada hakikatnya adalah al-Qur’an dan bukan haditsnya.
2) Mereka menolak hadits, kecuali bila memang ada sandarannya dalam al-Qur’an, karena adanya pertimbangan, bahwa al-Qur’an itu adalah sumber hukum Islam yang pertama yang bersifat universal dan umum, sedangkan hadits berfungsi menjelaskan detailnya dan cabang-cabangnya.
Kepada golongan ini, Imam Syafi’i tidak menganggap sebagai golongan yang sesat, tetapi bahkan menganggapnya sebagai golongan yang berhati-hati dalam menggali hukum dari sumbernya yang pokok, yakni al-Qur’an. Yang termasuk golongan ini antara lain Imam Syatiby, yang dalam kitabnya ”al-Muwafaqat” menyatakan:
Artinya:” Sunnah itu, tidak mendatangkan sesuatu hukum, terkecuali bila ia memiliki landasan dalam al-Qur’an”.
c. Golongan yang menolak hadits sebagai hujjah.
Artinya, mereka masih menerima hadits Mutawatir. Yang mereka tolak adalah hadits ahad.
Adapun alasan-alasan yang dipergunakan oleh golongan yang menolak hadits tersebut, antara lain sebagai berikut:
1) Firman Allah surat an-Nahl ayat 89 yang berbunyi:
•
Artinya: ”...Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.....”
Ayat ini mereka pahami bahwa al-Qur’an itu telah mencakup segala masalah agama dengan sejelas-jelasnya dan terperinci, hingga tidak memerlukan lagi penjelasan dari selain al-Qur’an, misalnya hadits.
2) Andai kata hadits itu sebagai dasar / sumber hukum, tentunya Rasulullah sejak hidupnya telah memerintahkan para sahabatnya untuk menulis seluruh hadits beliau, agar tidak hilang dan dilupakan orang. Akan tetapi kenyataannya, Rasulullah tidak melakukan demikian. Sehingga olehnya itu hadits terpakasa diterima secara dhanny tidak syah untuk berhujjah.
Tetapi dua alasan tersebut dapat ditolak dengan argumentasi sebagai berikut:
1. al-Qur’an tidak memuat segala persoalan dan problematika secara terperinci (detail), akan tetapi bersifat umum dan global. Banyak sekali ketetapan al-Qur’an yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari berbagai aspek, baik dalam hal ubudiyah maupun muammalah. Dan yang kompeten untuk memberikan penjelasan dan penafsiran itu, adalah Rasulullah.
Misalnya saja, firman Allah yang memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mendirikan shalat, al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan bagaimana cara-cara shalat yang dimaksud. Maka Rasulullah di sini memberi penjelasan dengan sabdanya:
“Bershalatlah kamu, sebagaimana kamu melihat aku shalat”
2. Tentang Rasulullah tidak memerintahkan untuk menulis seluruh hadits beliau kepada para sahabat, bukanlah suatu alasan bahwa hadits tidaklah berkedudukan sebagai dasar hukum Islam. Sikap Rasulullah yang demikian itu, justru telah bertujuan untuk memelihara kemurnian al-Qur’an dan agar tidak tercampur dengan hadits.
Dengan demikian, walaupun Rasulullah tidak memerintahkan untuk menulis dan mengumpulkannya dalam satu mushaf, tetapi berkat ketelitian para ulama ahli hadits, maka sampai detik ini kita masih dapat menjumpai hadits-hadits Rasul yang sahih. Dan justru dengan hadits bisa menjelaskan tentang detailnya hukum Islam, yang oleh al-Qur’an di jelaskan secara mujmal (global) dan umum.
F. Kontribusi hadits terhadap ilmu falak
Berdasarkan uraian diatas tentang posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam, disini penulis berpendapat bahwa hadits sangat urgen dalam kaitannya dengan ilmu falak. Karena sebagai sumber dan dasar hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits sangat berperan dalam menetapkan hukum tentang penentuan awal Ramadhan atau awal puasa. Seperti contoh hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:
”Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan”.
Disini, posisi hadits adalah sebagai dasar yang dijadikan rujukan oleh jumhur Ulama untuk menetapkan awal Ramadhan atau awal puasa itu dengan metode Rukyah. Sehingga dengan contoh ini menjadi jelaslah tentang posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam, khususnya dalam menetapkan hukum yang belum pernah disinggung di dalam al-Qur’an yaitu tentang masalah rukyah.
Selain rukyah, para ahli hisab juga menggunakan hadits sebagai dalil metode hisab yang mereka sepakati, yaitu
”Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.”
Jadi, disini penulis tidak sepakat dengan golongan-golongan yang mengikngkari sunnah, karena sudah jelas bahwa hadits sangat dibutuhkan bagi umat Islam khususnya dalam masalah perintah yang berkaitan dengan ibadah mahdlah yaitu awal puasa atau ramadhan. Meskipun nanti pada penerapan hadits itu ada penafsiran makna yang berbeda-beda. Misalnya hadits yang dijadikan dalil ahli hisab, kata faqdurulahu bagi ahli hisab dimaknai dengan kira-kirakanlah dengan perhitungan hisab itu sendiri, sedangkan untuk ahli rukyah memaknai faqdurulahu dengan menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari.
Dengan demikian, jelas sekali anggapan dan pemahaman cukup hanya dengan al-Qur’an tanpa memerlukan hadits adalah sesat, batal dan tidak bisa diterima. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an. al-Qur’an menyebutkan bahwa Rasulullah adalah penjelas (mubayyin) terhadap apa yang diturunkan Allah.
KESIMPULAN
Dari paparan diatas, penulis bisa menyimpulkan bahwa:
1. Posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam adalah sebagai dasar / sumbernya dalam menetapkan hukum dan menjelaskan hukum-hukum yang telah disebutkan al-Qur’an secara global.
2. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi yaitu segi kebenaran materinya (wurudnya) dan kekutan sunnah yang mengikuti kebenaran pemberitaannya apakah hadits itu mutawatir atau ahad.
3. Hadits sebagai sumber hukum Islam dimaksudkan sebagai tasyri’ (menetapkan hukum) yang mencakup segala urusan dan permasalahan, apakah itu masalah ibadah, makanan, minuman, politik, peradilan, keluarga dan seterusnya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dengan sahih dari Nabi Saw. adalah hukum-hukum yang wajib diikuti sepanjang masa, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang menggugurkan kewajiban tersebut.
REFERENSI
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1998.
Effendi, Satria dan M.Zein. Ushul Fiqih. Jakarta: Prenada Media. 2005.
Hasaballah, Ali. Ushulut Tasyri’ul Islami (...: Dar al-Ma’arif.)
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:...tt...tt).
Jurnal Al-Insan. Hadits Nabi Otentisitas dan Upaya Destruksinya. Depok: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan. 2007.
Kamali, Muhammad Hashim. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Mudasir.Ilmu hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2005.
Muhaimin, dkk. Kawasan dan wawasan Studi Islam, (tt...tt)
Qardawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1991.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT. al-ma’rif. 1974.
Romli. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pertama. 1999.
. Soetari, Endang Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press. 1997.
Solahudin, M Agus. dan Agus Suyudi. ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009
Suparta, Munzier. ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
Syarifuddin, Amir Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 1995.
Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah), dan diam (taqririyah atau sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadits, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi rujukan bagi da’i dan pendidik. Dari hadits tersebut mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai yang mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang mendorong orang melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Seluruh umat Islam telah menerima paham, bahwa hadits Rasulullah Saw. Itu sebagai pedoman hidup yang utama, setelah al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits. Hadits berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum hukum Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami hukum Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Maka dari itu, penulis merasa penting untuk menguraikan tentang bagaimana posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Hadits menurut bahasa berarti “al-Jadiid”, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Lawan kata al-Hadits adalah al-Qadiim, artinya sesuatu yang lama.
Hadits juga berarti khabar (berita), yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Disamping pengertian tersebut, M.M. Azami mendefinisikan bahwa kata hadits, secara etimologi (lughawiyah), berarti komunikasi, kisah, percakapan religius atau sekuler, historis atau kontemporer.
Sedangkan secara terminologi, para ulama baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya.
Ulama hadits mendefinisikan hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi Saw, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.
Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, selain al-Qur’an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum syara’.
Adapun menurut istilah para fuqaha, hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi Saw yang tidak bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardlu atau wajib.
Perbedaan pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadits, yakni pengertian terbatas dan pengertian luas. Pengertian hadits secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur al-Muhaditsin, adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Adapun pengertian hadits secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfudz at-Tirmidzi, adalah Sesungguhnya hadits bukan hanya yang dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad Saw, melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi’in).
Kebanyakan para muhadditsin, baik yang termasuk aliran modern maupun yang termasuk aliran kuno (salaf), berpendapat bahwa istilah hadits, khabar dan sunnah muradif (sinonim), walaupun di sana-sini ada Ulama yang membedakan, namun perbedaan itu tidak prinsipil.
Jadi, pengertian hadits berdasarkan uraian di atas, penulis sepakat dengan pengertian yang disampaikan oleh Ulama ahli ushul, sedangkan tentang istilah hadits penulis sepakat dengan mayoritas muhadditsin, yang menyebutkan antara hadits, khabar dan sunnah adalah sinonim (persamaan kata).
B. Hadits sebagai sumber hukum Islam
Hukum islam adalah firman syari’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain.
Pengertian hukum Islam menurut Ushul fiqih ialah firman (nash) dari pembuat syari’ baik firman Allah maupun hadits Nabi Saw.
Hukum Islam meliputi:
1. Hukum taklifi
Adalah hukum-hukum yang mengandung tuntutan yang berupa perintah, larangan atau keizinan, yakni:
a. Ijab (wajib)
b. Nadb (anjuran)
c. Tahrim (larangan)
d. Karahah
e. Ibahah (kebolehan)
2. Hukum Wadh’i
Ialah hukum yang dijadikan sebab atau syarat atau penghalang terhadap pekerjaan atau hukum-hukum yang dijadikan sebagai hasil dari perbuatan-perbuatan itu, seperti sah, batal, rukhsah dan ’azimah.
Dasar Hukum Islam dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan perundang-undangan Islam adalah al-Qur’an, hadits dan Ijtihad.
al-Qur’an sebagai pokok hukum merupakan dasar pertama dan hadits sebagai dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah atau derajat, al-Qur’an lebih tinggi rutbah derajatnya dari hadits.
1. Dalil kehujjahannya Hadits
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Diantaranya ialah:
a. Dalil al-Qur’an
•
•
Artinya: ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.S. al-Hasyr: 7)
•
Artinya: ”Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (Q.S. al-Imran: 32)
Artinya: ”Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah”....(Q.S. an-Nisa’: 64)
Bentuk-bentuk ayat seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban taat terhadap semua yang disampaikan oleh Rasul Saw. Dan dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat Islam.
b. Dalil Hadits
Artinya: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Malik)
Hadits diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits/ menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada al-Qur’an.
c. Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum Islam, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Islam.
Kesepakatan umat Muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah Saw masih hidup. Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa’ al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Contoh peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam adalah:
“Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Usman bin Affan berkata : ”saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah Saw, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul.
d. Sesuai dengan petunjuk akal atau berdasarkan logika.
Bahwa al-Qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta, sedang hadits berasal dari hamba dan utusan-Nya, maka sudah selayaknya bahwa yang berasal dari sang Pencipta itu lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba / utusan-Nya.
2. Pembagian Hadits
Dilihat dari segi jumlah rawinya dalam kajian Ushul Fiqih dibagi kepada dua macam, yaitu:
a. Hadits Mutawatir
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan mereka tidak mungkin sepakat bohong, dengan perawi yang sama banyaknya hingga sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Saw.
Contohnya sunnah fi’liyah (perbuatan) tentang rincian cara melakukan shalat, rincian haji, dan lain-lain yang merupakan syiar agama Islam yang secara berturut-turut diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hadits mutawatir terbagi dua macam
1) Hadits mutawatir lafdzy
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang bersamaan dengan arti dan lafalnya.
Contoh:
Artinya: “Barangsiapa berbohong atas diriku dengan sengaja (memalsukan hadits), maka bersiap-siaplah bertempat tinggal di neraka”.
Menurut Imam zakaria Muhyidin ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), ahli hadits dan ahli fiqih dari kalangan syafi’iyah, hadits tersebut diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua ratus orang sahabat.
2) Hadits mutawatir ma’nawy
Ialah beberapa hadits yang beragam redaksinya tetapi maknanya sama.
Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengangkat tangannya dalam setiap berdoa. Hadits tersebut diriwayatkan dalam berbagai peristiwa dan dalam berbagai redaksi antara lain diriwayatkan oleh Tirmidzi.
b. Hadits Ahad
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, tetapi jumlahnya tidak sama dengan yang meriwayatkan hadits mutawatir. Sesudah generasi sahabat tersebut, hadits itu diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih generasi tabi’in dan seterusnya sama oleh generasi tabi’ tabi’in. Hadits ahad adalah yang terbanyak jumlahnya dalam kitab-kitab hadits.
Hadits Ahad terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1) Hadits masyhur
Yaitu hadits yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh tiga orang perawi, tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya hadits itu menjadi hadits mutawatir dilihat dari segi jumlah perawinya.
Contoh: hadits yang diriwayatkan Umar
Artinya: “Sesungguhnya sahnya suatu perbuatan amal tergantung pada niat, dan bagi setiap orang apa yang menjadi niatnya”.
2) Hadits ’Aziz
Yaitu yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang meskipun pada periode-periode yang lain diriwayatkan oleh banyak orang.
Contoh:
Artinya: “Menuntut ilmu itu adalah merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam baik laki-laki atau perempuan”.
3) Hadits Gharib
Yaitu hadits yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap periode sampai hadits itu dibukukan.
Contoh:
Artinya; “Belum dianggap sempurna iman seseorang diantara kamu sehingga aku lebih disukai olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia”.
Dari kedua pembagian hadits tersebut, para Ulama ushul fiqih sepakat bahwa hadits Mutawatir adalah sah dijadikan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat tentang keabsahan hadits Ahad sebagai sumber hukum.
Dilihat dari segi kualitas atau integritas perawinya, dibagi menjadi tiga macam:
a. Hadits Sahih
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yaitu orang yang senantiasa berkata benar dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian yang sempurna, sanad (mata rantai yang menghubungkannya) bersambung sampai kepada Nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat dan tidak pula berbeda bahkan bertentangan dengan periwayatan orang-orang yang terpercaya.
b. Hadits Hasan
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil (dapat dipercaya), tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat dan tidak pula berbeda atau bertentangan dengan periwayatan yang disampaikan oleh orang yang terpercaya.
c. Hadits Dha’if
Adalah yang tidak memenuhi syarat yang dipunyai oleh hadits sahih dan hadits hasan. Hadits dha’if banyak macamnya, yang terlemah adalah hadits maudhu’.
Jadi, Hadits yang mempunyai martabat tertinggi dalam kedudukannya sebagai sumber atau dalil hukum adalah hadits yang qath’i dari segi wurud atau sanadnya, yaitu kebenaran materinya datang dari Nabi dan qath’i dari segi dilalah atau penunjukannya terhadap hukum. Namun jumlah hadits yang qath’i ini sangat terbatas. Adapun yang banyak jumlahnya adalah hadits dhanni dari segi materinya atau dari segi dilalah (penunjukkan)nya atau dari segi keduanya.
Menurut Abdul Karim Zaidan dan Abdul Khalaf hadits yang digolongkan kepada qath’i al-Wurud ini adalah mutawatir. Sebab hadits-hadits mutawatir ini tidak diragukan kebenaran bahwa pasti datang dari Nabi Saw. Sementara itu hadits mashur dan ahad yang digolongkan kepada dzanni al-Wurud.
3. Apakah hadits sebagai sumber yang berdiri sendiri?
Jawaban yang memadai atas pertanyaan apakah hadits sekedar pelengkap bagi al-Qur’an ataukah sumber yang berdiri sendiri menuntut kejelasan tentang hubungan hadits dengan al-Qur’an dalam tiga kapasitas berikut:
a. Hadits dapat berupa ketentuan-ketentuan yang hanya mengkonfirmasikan dan mengulangi pernyataan al-Qur’an, dimana ketentuan-ketentuan tersebut bersumber dari al-Qur’an, dan hadits semata memperkuatnya. Seperti semua hadits mengenai lima rukun Islam dan masalah-masalah lain seperti hak-hak orang tua, persoalan hak milik orang lain dan hadits-hadits yang mengatur ketentuan tentang pembunuhan, pencurian dan kesaksian palsu, dan sebagainya, pada dasarnya menegaskan kembali prinsip-prinsip al-Qur’an mengenai masalah-masalah ini.
Contohnya, hadits yang menyatakan bahwa tidak sah mengambil harta seorang Muslim tanpa izinnya.
Hadits disini sekedar mengkonfirmasikan al-Qur’an dalam surat an-Nisa’ ayat 29 yang memerintahkan umat Islam untuk tidak sekali-kali memakan harta orang lain dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Sumber dari ketentuan ini adalah al-Qaur’an, dan karena itu, hadits tadi semata menegaskan kembali al-Qur’an, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ia (hadits) merupakan otoritas yang berdiri sendiri.
b. Hadits dapat berupa penjelasan atau klarifikasi bagi al-Qur’an, ia bisa menjelaskan nash al-Qur’an yang mujmal, mengkualifikasikan pernyataan-pernyataannya yang mutlaq atau menspesifiakasikan term-term yang ‘amm. Inilah sebenarnya peran yang dimainkan hadits dalam kaitan dengan al-Qur’an, ia menjelaskannya.
Misalnya, melalui hadits jenis ini istilah-istilah dalam al-Qur’an seperti salat, zakat, haji, riba dan sebagainya memperoleh makna yuridis (syar’i)nya. Yang mana dalam kaitan dengan transaksi jual-beli, al-Qur’an hanya menyatakan bahwa jual-beli adalah halal dan sebaliknya riba adalah haram. Prinsip umum ini belakangan dijelaskan oleh hadits yang menguraikan ketentuan-ketentuan rinci mengenai jual-beli, termasuk syarat-syarat, macam-macam dan jenis-jenis jual-beli yang terhitung riba.
c. Hadits dapat berupa ketentuan-ketentuan yang tidak disinggung oleh al-Qur’an, dimana ketentuan-ketentuan tersebut bersumber pada hadits itu sendiri. Variasi hadits atau sunnah ini, yang disebut sunnah al-mu’assisah, atau ”sunnah pembentuk” tidak mengkonfirmasikan ataupun menyangkal al-Qur’an, dan isi-isinya tidak bisa diruntut kepada kitab suci. Hanya variasi hadits inilah yang tidak termasuk inti perdebatan apakah hadits merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri atau tidak.
Misalnya, larangan poligami dengan bibi pihak ibu atau pihak ayah dari istri (sering disebut sebagai hubungan yang haram), bagian nenek dalam warisan, hukuman rajam, yakni hukuman mati dengan dilempari batu bagi pezina muslim yang telah kawin, semua bersumber dari ketentuan hadits, karena al-Qur’an sendiri tidak menyinggung masalah-masalah ini.
Ada beberapa ketidaksepakatan di kalangan fuqaha apakah hadits merupakan sumber yang berdiri sendiri? Beberapa ulama abad-abad belakangan (al-mutakh-khirun), termasuk al-Syatibi dan al-Syaukani, berpendapat bahwa hadits adalah sumber yang berdiri sendiri. Misalnya, al-Qur’an pada lebih dari satu tempat memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya (an-Nisa’ ayat 58 dan 80, al-Maidah ayat 92). Kenyatan bahwa ketaatan kepada Nabi secara khusus diperintahkan sesudah ketaatan kepada Allah memperkuat kesimpulan bahwa taat kepada Nabi berarti taat kepadanya kapan saja ketika dia menyuruh atau melarang sesuatu yang tidak disinggung-singgung oleh al-Qur’an. Inilah bukti terhadap pendapat yang disampaikan oleh ulama al-mutakh-khirun termasuk syatibi dan al-Syaukani bahwa hadits itu independent.
Misalnya hadits yang meriwayatkan bahwa sebagian anak kecil itu di siksa pada hari kiamat, hal itu disampaikan oleh kaum Azariqah dari golongan khawarij mengenai anak-anaknya orang musyrik, seperti hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi ditanya tentang masa depan anak-anak yang meninggal, Nabi bersabda: ”Allah itu lebih mengetahui apa yang mereka lakukan. hadits tersebut tertolak, karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.
Sedangkan dalil al-Qur’an yang bertentangan dengan hadits yang bertolak tersebut adalah misalnya surat Ghofr ayat 17 yaitu:
اليوم تحزى كل نفس بما كسبت لاظلم اليوم
Jadi, syarat hadits yang diriwayatkan itu maknanya tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat baik dari al-Qur’an maupun hadits yang mutawatir.
C. Hadits yang dapat dijadikan rujukan dalam penetapan Hukum
Umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi Saw. Itu dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dalam hadits.
Agar hadits dapat berfungsi sebagaimana tujuan diatas, maka kita harus memastikan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Saw. Ilmu hadits telah menjelaskan bahwa hadits yang dijadikan sandaran harus berkualitas sahih atau hasan. Istilah sahih mirip dengan yudisium ”istimewa” atau ”baik sekali” dalam nilai akademik, sedangkan hasan mirip denga yudisium ”baik” atau ”cukup”. Oleh karena itu, hadis hasan yang memiliki kualitas tertinggi mendekati sahih, sedangkan yang terendah mendekati hadits dha’if (lemah).
Para ulama sepakat bahwa syarat ini harus dipenuhi oleh hadits-hadits yang dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum-hukum syari’at praktis, yang merupakan tiang ilmu fiqih dan dasar dalam menentukan halal dan haram. Namun mereka berbeda pendapat mengenai hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhail al-’amal), zikir (doa-doa), ungkapan-ungkapan yang menggugah keimanan (raqaiq), anjuran dan ancaman (targib wa tarhib), dan lain sebagainya, yang tidak masuk dalam bab penetapan hukum syara’ (tasyri’). Diantara ulama salaf, ada yang bersikap longgar dalam meriwayatkannya dan tidak menganggap keliru dalam mengungkapkannya.
Namun, kelonggaran dalam meriwayatkan hadits-hadits seperti di atas tidaklah berlaku mutlak, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu dalam bidang apa hadits itu berbicara, juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun, banyak orang yang menyalahgunakannya sehingga ke luar dari jalur yang benar dan mencemari kesucian sumber Islam yang suci.
Jadi, disini dalam menetapkan sebuah hukum Islam harus lebih teliti untuk memilih hadits yang akan dijadikan sebagai rujukan, apakah hadits itu sahih, hasan atau dha’if. Jika termasuk hadits sahih, tidak perlu diperbincangkan lagi. Jika sanadnya lemah, para ahli hadits sepakat bahwa hadits dha’if hanya boleh digunakan untuk anjuran dan ancaman (at-targib wa tarhib), seperti termuat dalam kitab al-Adzkar karya an-Nawawi, Insan al-’Uyun karya Ali bin Burhanuddin al-Halabi, al-Asrar al-Muhammadiyah karya Ibn Fahruddin ar-Rumi, dan yang lainnya.
D. Urgensi Hadits dalam Hukum Islam
Penegasan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam ini sangat strategis bagi upaya revitalisasi hukum Islam. Karena sebagian besar hukum Islam bersumber pada hadits. Terlebih lagi, hadits atau sunnah banyak menjadi dalil bagi berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya pengaturan hubungan penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam dengan negara lain, pengangkatan hakim (qadhi) dan sebagainya.
Dari hadits, kita akan dapat memahami sistem ekonomi Islam, misalkan tentang kepemilikan individu, umum dan negara, pendapatan dan belanja negara, keharusan pemenuhan kebutuhan pokok individu, sandang, pangan, dan papan, kewajiban negara untuk menjamin pendidikan, keamanan, dan kesehatan dan sebagainya.
Dari hadits atau sunnah kita akan dapat memahami secara rinci sistem interaksi dan pergaulan pria dan wanita, misalkan berbagai hukum tentang melamar (khitbah) calon istri, hukum nikah, hukum nasab (garis keturunan), hukum cerai, hukum silaturrahim dan seterusnya.
Dari hadits pula kita akan dapat memahami secara rinci sistem pendidikan Islam untuk membentuk generasi muda yang berkepribadian Islam dan cakap menghadapi kehidupan dengan berbagai bekal pengetahuannya.
Hadits adalah sumber kedua dalam Islam, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi rujukan bagi da’i dan pendidik. Dari hadits, mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai yang mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang mendorong orang melakuakn kebaikan dan menjauhi keburukan.
Dengan demikian, posisi strategis hadits sangat jelas dalam hubungannya dengan penerapan hukum Islam dalam segala aspeknya. Sebaliknya, tanpa hadits atau sunnah, jangan dibayangkan akan ada pelaksanaan hukum Islam yang benar dan paripurna dalam kehidupan. Ringkas kata, tak ada hukum Islam dan sekaligus revitalisasi hukum Islam tanpa hadits.
E. Golongan yang menolak hadits sebagai sumber hukum Islam
Walaupun telah jelas dalil-dalil dan alasan-alasan yang menunjukkan bahwa hadits itu merupakan salah satu sumber hukum Islam, akan tetapi ada juga segolongan kecil dari umat Islam yang menolak terhadap hadits sebagai sumber Hukum Islam.
Imam Syafi’i dalam kitabnya ”al-Umm” telah menguraikan panjang lebar tentang alasan-alasan yang dipergunakan oleh golongan yang menolak hadits Nabi tersebut, kemudian beliau mengemukakan bantahan-bantahannya lengkap dengan alasan-alasannya.
Imam Syafi’i, karena jasa dan peranannya yang sangat besar dalam membela hadits sebagai dasar hukum Islam tersebut, telah digelari sebagai ”Penolong hadits” (ناصرالحديث).
Beliau, walaupun tidak secara jelas menyebut nama-nama golongan atau orang yang menolak hadits itu, tetapi beliau telah membagi golongan yang menentang hadits tersebut kepada tiga golongan. Yaitu:
a. Golongan yang menolak hadits seluruhnya, baik yang mutawatir maupun yang ahad.
Menurut Abu Zahrah, mereka itu adalah dari kaum Zindiq dan sebagian dari Khawarij.
b. Golongan yang menolak hadits, kecuali jika hadits tersebut ada persamaannya dengan al-Qur’an.
Menurut analisis Imam Syafi’i, bahwa golongan ini ada dua kemungkinan landasan berpikirnya. Yaitu:
1) Mereka secara apriori menolak hadits, terkecuali memang ada nash al-Qur’an yang sama mengenai lafadznya atau makna jiwanya dengan hadits tersebut.
Bila demikian, maka mereka ini pada hakikatnya sama dengan golongan yang pertama, yakni golongan yang menolak hadits seluruhnya. Sebab, jika mereka baru mau menerima hadits apabila ada persamaannya dengan al-Qur’an, maka yang menjadi hujjah, pada hakikatnya adalah al-Qur’an dan bukan haditsnya.
2) Mereka menolak hadits, kecuali bila memang ada sandarannya dalam al-Qur’an, karena adanya pertimbangan, bahwa al-Qur’an itu adalah sumber hukum Islam yang pertama yang bersifat universal dan umum, sedangkan hadits berfungsi menjelaskan detailnya dan cabang-cabangnya.
Kepada golongan ini, Imam Syafi’i tidak menganggap sebagai golongan yang sesat, tetapi bahkan menganggapnya sebagai golongan yang berhati-hati dalam menggali hukum dari sumbernya yang pokok, yakni al-Qur’an. Yang termasuk golongan ini antara lain Imam Syatiby, yang dalam kitabnya ”al-Muwafaqat” menyatakan:
Artinya:” Sunnah itu, tidak mendatangkan sesuatu hukum, terkecuali bila ia memiliki landasan dalam al-Qur’an”.
c. Golongan yang menolak hadits sebagai hujjah.
Artinya, mereka masih menerima hadits Mutawatir. Yang mereka tolak adalah hadits ahad.
Adapun alasan-alasan yang dipergunakan oleh golongan yang menolak hadits tersebut, antara lain sebagai berikut:
1) Firman Allah surat an-Nahl ayat 89 yang berbunyi:
•
Artinya: ”...Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.....”
Ayat ini mereka pahami bahwa al-Qur’an itu telah mencakup segala masalah agama dengan sejelas-jelasnya dan terperinci, hingga tidak memerlukan lagi penjelasan dari selain al-Qur’an, misalnya hadits.
2) Andai kata hadits itu sebagai dasar / sumber hukum, tentunya Rasulullah sejak hidupnya telah memerintahkan para sahabatnya untuk menulis seluruh hadits beliau, agar tidak hilang dan dilupakan orang. Akan tetapi kenyataannya, Rasulullah tidak melakukan demikian. Sehingga olehnya itu hadits terpakasa diterima secara dhanny tidak syah untuk berhujjah.
Tetapi dua alasan tersebut dapat ditolak dengan argumentasi sebagai berikut:
1. al-Qur’an tidak memuat segala persoalan dan problematika secara terperinci (detail), akan tetapi bersifat umum dan global. Banyak sekali ketetapan al-Qur’an yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari berbagai aspek, baik dalam hal ubudiyah maupun muammalah. Dan yang kompeten untuk memberikan penjelasan dan penafsiran itu, adalah Rasulullah.
Misalnya saja, firman Allah yang memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mendirikan shalat, al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan bagaimana cara-cara shalat yang dimaksud. Maka Rasulullah di sini memberi penjelasan dengan sabdanya:
“Bershalatlah kamu, sebagaimana kamu melihat aku shalat”
2. Tentang Rasulullah tidak memerintahkan untuk menulis seluruh hadits beliau kepada para sahabat, bukanlah suatu alasan bahwa hadits tidaklah berkedudukan sebagai dasar hukum Islam. Sikap Rasulullah yang demikian itu, justru telah bertujuan untuk memelihara kemurnian al-Qur’an dan agar tidak tercampur dengan hadits.
Dengan demikian, walaupun Rasulullah tidak memerintahkan untuk menulis dan mengumpulkannya dalam satu mushaf, tetapi berkat ketelitian para ulama ahli hadits, maka sampai detik ini kita masih dapat menjumpai hadits-hadits Rasul yang sahih. Dan justru dengan hadits bisa menjelaskan tentang detailnya hukum Islam, yang oleh al-Qur’an di jelaskan secara mujmal (global) dan umum.
F. Kontribusi hadits terhadap ilmu falak
Berdasarkan uraian diatas tentang posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam, disini penulis berpendapat bahwa hadits sangat urgen dalam kaitannya dengan ilmu falak. Karena sebagai sumber dan dasar hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits sangat berperan dalam menetapkan hukum tentang penentuan awal Ramadhan atau awal puasa. Seperti contoh hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:
”Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan”.
Disini, posisi hadits adalah sebagai dasar yang dijadikan rujukan oleh jumhur Ulama untuk menetapkan awal Ramadhan atau awal puasa itu dengan metode Rukyah. Sehingga dengan contoh ini menjadi jelaslah tentang posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam, khususnya dalam menetapkan hukum yang belum pernah disinggung di dalam al-Qur’an yaitu tentang masalah rukyah.
Selain rukyah, para ahli hisab juga menggunakan hadits sebagai dalil metode hisab yang mereka sepakati, yaitu
”Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.”
Jadi, disini penulis tidak sepakat dengan golongan-golongan yang mengikngkari sunnah, karena sudah jelas bahwa hadits sangat dibutuhkan bagi umat Islam khususnya dalam masalah perintah yang berkaitan dengan ibadah mahdlah yaitu awal puasa atau ramadhan. Meskipun nanti pada penerapan hadits itu ada penafsiran makna yang berbeda-beda. Misalnya hadits yang dijadikan dalil ahli hisab, kata faqdurulahu bagi ahli hisab dimaknai dengan kira-kirakanlah dengan perhitungan hisab itu sendiri, sedangkan untuk ahli rukyah memaknai faqdurulahu dengan menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari.
Dengan demikian, jelas sekali anggapan dan pemahaman cukup hanya dengan al-Qur’an tanpa memerlukan hadits adalah sesat, batal dan tidak bisa diterima. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an. al-Qur’an menyebutkan bahwa Rasulullah adalah penjelas (mubayyin) terhadap apa yang diturunkan Allah.
KESIMPULAN
Dari paparan diatas, penulis bisa menyimpulkan bahwa:
1. Posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam adalah sebagai dasar / sumbernya dalam menetapkan hukum dan menjelaskan hukum-hukum yang telah disebutkan al-Qur’an secara global.
2. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi yaitu segi kebenaran materinya (wurudnya) dan kekutan sunnah yang mengikuti kebenaran pemberitaannya apakah hadits itu mutawatir atau ahad.
3. Hadits sebagai sumber hukum Islam dimaksudkan sebagai tasyri’ (menetapkan hukum) yang mencakup segala urusan dan permasalahan, apakah itu masalah ibadah, makanan, minuman, politik, peradilan, keluarga dan seterusnya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dengan sahih dari Nabi Saw. adalah hukum-hukum yang wajib diikuti sepanjang masa, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang menggugurkan kewajiban tersebut.
REFERENSI
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1998.
Effendi, Satria dan M.Zein. Ushul Fiqih. Jakarta: Prenada Media. 2005.
Hasaballah, Ali. Ushulut Tasyri’ul Islami (...: Dar al-Ma’arif.)
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:...tt...tt).
Jurnal Al-Insan. Hadits Nabi Otentisitas dan Upaya Destruksinya. Depok: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan. 2007.
Kamali, Muhammad Hashim. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Mudasir.Ilmu hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2005.
Muhaimin, dkk. Kawasan dan wawasan Studi Islam, (tt...tt)
Qardawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1991.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT. al-ma’rif. 1974.
Romli. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pertama. 1999.
. Soetari, Endang Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press. 1997.
Solahudin, M Agus. dan Agus Suyudi. ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009
Suparta, Munzier. ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
Syarifuddin, Amir Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 1995.
Sip, sangat jelas, sudah menjawab semua pertanyaan saya.
BalasHapus