Minggu, 02 Januari 2011

SEKILAS TENTANG SEWA RAHIM

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Menurut W.J.S. Purwadarminto kata “sewa” berarti pemakaian (peminjaman) sesuatu dengan membayar uang. Sedangkan arti kata “rahim” yaitu kandungan. Jadi pengertian sewa rahim menurut bahasa adalah pemakaian/ peminjaman kandungan dengan membayar uang atau dengan pembayaran suatu imbalan.[1]

Menurut istilah adalah menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah disenyawakan dengan benih laki-laki (sperma) yaitu pasangan suami istri, dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sampai lahir kemudian suami istri itu yang ingin memiliki anak akan membayar dengan sejumlah uang kepada wanita yang menyewakan rahimnya.

B. Hukum dan Alasan pelaksanaan sewa rahim

Menurut Prof Sulaiman, Ketua MUI Provinsi Jambi di sela pembukaan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Ke-2 di Ponpes Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 25-28 Mei 2006. Mantan rektor IAIN Sultan Toha ini menjelaskan, tindakan meletakkan sperma ke dalam rahim wanita yang bukan istrinya adalah dilarang.[2]

Praktik sewa rahim berbeda dengan bayi tabung yang diperbolehkan selama sperma dan sel telur yang dipertemukan ditanam kembali ke rahim sang istri.

Metode bayi tabung hanya teknis untuk mempertemukan sel telur dengan sperma. "Nah, metode ini dianggap zina, apabila sel telur dan sperma yang dipertemukan ditanam ke rahim wanita lain," jelas Profesor Sulaiman lagi.[3]

Pemanfaatan rahim diluar perkawinan diharamkan, disebabkan oleh banyaknya mudharat yang ditimbulkan jika dibandingkan dengan manfaatnya. Dalam hal ini terdapat kaedah ushul yang berbunyi:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمُ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Artinya: Menghindari mafsadah (madharat/bahaya) harus didahulukan atas mencari / menarik maslahah (kebaikan/manfaat)”.[4]

Mudharat atau bahaya yang ditimbulkan oleh proses tersebut menimbulkan kekacauan pada status ibu, yakni siapakah yang berhak menjadi ibu sejati, apakah ibu genetis atau ibu penghamil? Sementara itu kriteria penentuan ibu sejati ialah; (a) Ovum,(b) mengandung dan melahirkan, serta (c) menyusukan. Oleh karena itu, baik ibu genetis maupun ibu penghamil, keduanya tidak dapat dikategorikan sebagai ibu sejati, sebab masing-masing tidak memenuhi kriteria tersebut.

Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafidz Hilmi, Dr. Musthafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surthowi Dekan fakultas syari’ah Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat ibu sejati yang dinasabkan anak padanya ialah ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu diibaratkan ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar diqiyaskan dengan hukum susuan. Pendapat ini dibina atas dasar bahwa persenyawaan antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka.

Menurut Ulama NU dalam sidang komisi masail diniyah disela-sela muktamar ke-29 yang berlangsung di pondok cipasung tasikmalaya, memutuskan: “Penolakan tegas terhadap praktek penyewaan sewa rahim untuk kepentingan inseminasi buatan. Praktek ibu titipan tersebut dinyatakan haram dan tidak sah”. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan Imam Abu Daud, sebagai berikut:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَسْقَى مَاءَهُ الزَرْعَ غَيْرِهِ

Artinya: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan spermanya ke dalam rahim orang lain”.

Terdapat beberapa alasan yang akan menyebabkan sewa rahim dilakukan:

1. Seorang wanita tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara biasa karena ditimpa penyakit atau kecacatan yang menghalangnya dari mengandung dan melahirkan anak.

2. Rahim wanita tersebut dibuang karena pembedahan.

3. Wanita tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan, menyusukan anak, karena ingin menjaga kecantikan tubuh badannya dengan mengelakkan dari terkesan akibat kehamilan.

4. Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah putus haid (monopause).

5. Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain.[5]

C. Bentuk-bentuk sewa rahim

1. Benih istri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan istri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan yang terus, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.

2. Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu titipan (sewa) selepas kematian pasangan suami istri itu.

3. Ovum istri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan istri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih istri dalam keadaan baik.

4. Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila keadaan istri ditimpa penyakit pada ovari dan rahimya.

5. Sperma dan ovum istri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim istri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini istri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari istri yang tidak boleh hamil.

ANALISA

Status anak model titipan ini persoalannya memang rumit, sebab kepada siapa status anak ini mesti diberikan. Sehingga penulis bisa menganalisa dan lebih cenderung mengatakan bahwa status anak yang dilahirkan melalui proses sewa rahim / rahim sewaan dapat dikualifikasi sebagai anak diluar perkawinan yang sah, secara otomatis kedudukan hukum dan nasabnya hanya dapat dipertalikan dengan ibu yang telah mengandung dan melahirkannya dan bukan kepada orang tua genetis. Yang berarti pula bahwa status anak itu tidak bisa disamakan dengan anak susuan karena proses pelaksanaanya juga sangat berbeda.


PENUTUP


A. Kesimpulan

Mengingat keterbatasan kemampuan dan literatur yang ada pada penulis, apabila didepan banyak terdapat pendapat-pendapat ulama dan tokoh-tokoh islam, hal ini semata-mata untuk menunjukkan beberapa ijtihad yang dilakukan oleh beberapa ulama tersebut, akkhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwa:

- Sewa rahim merupakan suatu praktek penyelenggaraan peminjaman dan pemakaian/pemanfaatan fungsi kandungan untuk pengembangan embrio menjadi janin hingga terlahirnya seorang bayi dari rahim ibu titipan (sewaan) dengan pembayaran sejumlah uang atau dengan suatu imbalan.

- Dari Perspektif hukum islam tentang sewa rahim dinyatakan haram karena melanggar hukum islam.

B. Saran

Dalam masalah ini perlu adanya kematangan sikap dan pemahaman terhadap permasalahan yang berkaitan terhadap aspek-aspek hukum islam yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan sewa rahim. Adapun akibat-akibat hukum yang akan ditemui dalam permasalahan sewa rahim ini antara lain adanya kesulitan-kesulitan yang timbul baik menyangkut soal agama, hukum, moral dan etika, juga akibat psikologis yang menyangkut mental orang tua (ibu pengganti) dan anak terlahir nantinya. Untuk itu solusi yang dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sangat menginginkan untuk memperoleh anak bisa dilakukan dengan; mengasuh anak atau si suami menikah lagi, hal ini justru mengantisipasi kesan negatif dan akan mengangkat harkat dan martabat wanita sebagai ibu secara kodrati.

REFERENSI

- Adib Bisri, Moh.Terjemah Al faraidul Bahiyah Risalah Qawaid Fiqh.Kudus: Menara Kudus, 1977.

- http://www.indomedia.com/Bpost/052006/26/depan/utama6.htm.

- http://tibbians.tripod.com/shib3.pdf

- Rasyid, Muhammad Hamdan, K.H., DR. Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual. Jakarta: Almawardi Prima, 2003.

- Syihab,Umar, H, Dr, Prof. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Toha Putra Group, 1996.



[1] Lihat penelitian Munawaroh, “Analisa Hukum Islam dan Hukum Positf Terhadap Pelaksanaan Sewa Rahim”, (skripsi ini tidak diterbitkan, IAIRM Ponpes Walisongo Ngabar), 41

[2] http://www.indomedia.com/Bpost/052006/26/depan/utama6.htm.

[3] ibid

[4] Moh. Adib Bisri, Terjemah Al faraidul Bahiyah Risalah Qawaid Fiqh (Kudus: Menara Kudus, 1977), 24

[5] http://tibbians.tripod.com/shib3.pdf.

MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM KEWIRAUSAHAAN (Haruskah menjadi orang kaya????????)

Wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dari padanya dan mengambil tindakan tepat untuk memastikan kesuksesan (Geoffrey G. Meredith, 1996: 5). Artinya menjadi wirausahawan berarti mampu melihat segala sesuatu untuk dimanfaatkan secara maksimal, direalisasikan menjadi sebuah bentuk usaha ekonomi guna mendapatkan keuntungan. Karenanya kemampuan ”membaca” dan kemandirian sangat diperlukan. Kewirausahaan juga merupakan wadah dimana seorang wirausahawan dapat memaparkan seluruh kreativitas yang dimilikinya sehingga dapat tercapai kemandirian, baik dari segi ekonomi maupun dari sisi psikologis.

Perjalanan hidup manusia itu memiliki berbagai macam dinamika. Ada kalanya seorang anak Adam merasakan kemiskinan, dan sebaliknya ada pula yang merasa kaya. Dalam hal ini kaya atau pun miskin tidak harus melulu dalam bentuk materi. Sebab ada yang kaya secara materi namun miskin dalam iman. Sementara itu ada pula yang memang benar-benar miskin secara materi tetapi kaya dalam hal keimanan.

Menjadi entrepreneur ternyata sudah dipelopori sejak zaman para Nabi. Contohnya Nabi Muhammad SAW. Ternyata, beliau adalah seorang pedagang. Nabi Muhammad semenjak usia 8 tahun 2 bulan sudah mulai menggembalakan kambing. Pada usia 12 tahun ke Syiria hafilah dagang, itu luar biasa jauhnya. Dan usia 25 tahun seperti yang kita bahas, Muhammad menikah dengan Siti Khadijah dengan mahar 20 ekor unta muda.

Menggapai kekayaan yang berlimpah merupakan impian setiap orang. Sayangnya dewasa ini, manusia lebih mengagungkan kekayaan materi daripada kekayaan ruhani. As Gym dalam buku saya tidak ingin kaya tapi harus kaya ini, hendak memberikan perspektif alternatif tentang kekayaan yang selama ini cenderung materialistik. Didalam buah karyanya ini Aa Gym menegaskan bahwa:

- Bagi umat Islam menjadi kaya adalah sebuah keharusan, jangan hanya sekedar keinginan.

- Kekayaan adalah sigma dari berbagai komponen. Dengan kata lain, kekayaan tidak berdimensi tunggal (kaya harta), tetapi memiliki dimensi yang luas, yakni kaya ghirah (semangat), kaya input (ilmu, wawasan, dan pengalaman), kaya gagasan (ide dan kreativitas), kaya ibadah (amal, kaya hati, dan bonusnya kaya harta).

- Kekayaan ruhani lebih hakiki daripada kekayaan materi semata.

- Setiap muslim wajib menjemput kekayaan materi maupun kekayaan hakiki yang memiliki nilai tambah (added value).

- Tolok ukur kekayaan adalah keberkahan (bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dunia dan akhirat).

Perspektif tersebut paling tidak dapat memberikan pencerahan (enlightment) sekaligus memberikan kesadaran baru pada manusia tentang pentingnya meraih kekayaan yang hakiki.

Siapa yang menolak jadi jutawan atau milyarder? Semua orang pasti ingin jadi orang kaya. Laki-laki ingin kaya, perempuan ingin kaya, orang kampung ingin kaya, dan orang kota pun pasti ingin kaya. Seseorang dengan uang melimpah bisa membeli semua komoditas yang dibutuhkan. Mau baju bagus, ia bisa membelinya di toko ternama di kotanya. Ingin rumah mewah, ia bisa membeli rumah di kawasan elite yang cenderung dihuni oleh orang-orang dari lapisan atas. Bagaimana dengan nasib orang miskin? Jangankan untuk beli baju bagus atau rumah mewah, untuk nasi bungkus saja mereka harus kerja seharian, baru mereka bisa makan.

Tidaklah salah jika seseorang bercita-cita menjadi orang kaya. Yang salah adalah jika ada yang menyatakan bahwa kekayaan adalah suatu kemuliaan, dan kemiskinan adalah suatu kehinaan. Tapi sebenarnya, kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Allah bagi hamba-hamba-Nya. Ironisnya, jika Allah mengujinya dengan memberikan kesenangan-kesenangan, maka ia akan berkata bahwa Allah telah memuliakannya, sedangkan jika Allah mengujinya dengan membatasi rizkinya maka ia berkata, "Allah telah menghinakanku!" Tipe orang semacam itu adalah orang yang mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.

Kekayaan yang melimpah ruah dapat menyebabkan seseorang itu mulia. Sebab, ia menggunakan hartanya di jalan Allah dan membelanjakannya untuk mencari keridhaan Allah. Dan perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya untuk mencari keridhaan Allah seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram hujan lebat, maka kebun itu akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun memadai (QS 2: 265).

Dan sebaliknya, kekayaan juga dapat menyebabkan seseorang menjadi boros, sombong serta merasa ekslusif, dan serakah. Seorang yang boros membelanjakan hartanya hanya untuk kepuasan nafsunya. Apa pun itu, jika menyangkut kepuasan hatinya, ia akan kuras seluruh isi kantongnya. Tapi sayangnya, jika hal itu menyangkut kebaikan orang banyak dan bernilai amal, maka ia akan berpura-pura menjadi orang yang pailit. Intinya, selain menjadi boros, ia juga akan diserang penyakit pelit.

Sekali lagi, Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang kaya. Nabi Muhammad adalah seorang kaya raya, demikian juga para sahabat, selain kaya mereka juga berprestasi, sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Walaupun mereka kaya, tapi hidup mereka sederhana, intinya menjalankan kehidupan yang proporsional. Bukan saja kebahagiaan dunia yang didapat, namun akhirat pun tetap menjadi tujuan hidupnya.

Dalam buku Arif Sirsaeba (berani kaya berani takwa), berkali-kali beliau memaparkan kepada kita, bahwa Rasulullah Saw lebih suka bila umatnya kaya-kaya dan takwa-takwa. Rasulullah Saw tidak merasakan tabu jika membicarakan soal harta, uang, kekayaan, ataupun materi lainnya, karena kebanyakan dari kita masih merasa tabu, risih, tidak etis jika berbicara tentang uang, karena takut dicap materialistis.Apalagi jika masalah uang dikaitkan dengan masalah dakwah ataupun kegiatan agama.

Apakah Rasulullah Saw bersikap materialistis?jelas tidak, tapi Rasulullah Saw sangatlah sadar bahwa perjuangan Islam membutuhkan biaya yang tidak sedikit, pergi haji membutuhkan dana yang cukup besar, bersilaturrahmi ke famili perlu biaya, begitu juga kita dalam membangun kemandirian di dunia wirausaha kaya materi sangat perlu sekali sebagai modal untuk usaha disamping kaya ruhani yang sudah dijelaskan diatas.

Bagi kita orang muslim yang sukses atau menuju kesuksesan khususnya dalam berwirausaha adalah orang yang kaya dalam tiga hal yaitu kaya iman, kaya ilmu, dan kaya harta. Keimanan bernilai jauh lebih mahal daripada lainnya, karena meski menjadi kaya memang penting, tapi mengetahui apa yang akan kita lakukan setelah kita menjadi kaya adalah hal yang sangat lebih penting.

Berbagai ulasan tentang kewirausahaan menyatakan, ternyata modal dasar untuk sukses bukanlah kapital (kekayaan uang). Uang hanyalah sarana. di sebuah forum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Abu Rizal Bakrie memaparkan bahwa, ‘ide’ adalah modal yang mampu menggerakan jalan menuju keberhasilan yang jika dimanfaatkan secara positif akan dapat diwujudkan menjadi sebuah bentuk usaha yang dapat berkembang.

Dengan demikian, berwirausaha sesungguhnya bukan hanya sebatas cara mencari uang atau bentuk profesi, namun lebih dari itu berwirausaha merupakan bentuk aktualisasi untuk mampu mengasah dan memaksimalkan potensi diri, tidaklah salah jika sekarang ada keinginan untuk mulai berfikir melakukan perubahan orientasi masa depan, dengan merealisasikan secara kongrit bentuk kemandirian ekonomi melalui jalan berwirausaha. Hal itu, dapat dimulai dari yang paling dimengerti dan paling mudah serta sering dilakukan oleh masing-masing orang dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti dari pengalaman pekerjaan, pendidikan, hobi, lingkungan dan banyak lagi macamnya. Dan memang, salah satu tawaran sekaligus tantangan jika ingin sukses, dan menjadi jutawan; jadilah wirausahawan. Anda tertarik?…………………….