PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut W.J.S. Purwadarminto kata “sewa” berarti pemakaian (peminjaman) sesuatu dengan membayar uang. Sedangkan arti kata “rahim” yaitu kandungan. Jadi pengertian sewa rahim menurut bahasa adalah pemakaian/ peminjaman kandungan dengan membayar uang atau dengan pembayaran suatu imbalan.[1]
Menurut istilah adalah menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah disenyawakan dengan benih laki-laki (sperma) yaitu pasangan suami istri, dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sampai lahir kemudian suami istri itu yang ingin memiliki anak akan membayar dengan sejumlah uang kepada wanita yang menyewakan rahimnya.
B. Hukum dan Alasan pelaksanaan sewa rahim
Menurut Prof Sulaiman, Ketua MUI Provinsi Jambi di sela pembukaan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Ke-2 di Ponpes Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 25-28 Mei 2006. Mantan rektor IAIN Sultan Toha ini menjelaskan, tindakan meletakkan sperma ke dalam rahim wanita yang bukan istrinya adalah dilarang.[2]
Praktik sewa rahim berbeda dengan bayi tabung yang diperbolehkan selama sperma dan sel telur yang dipertemukan ditanam kembali ke rahim sang istri.
Metode bayi tabung hanya teknis untuk mempertemukan sel telur dengan sperma. "Nah, metode ini dianggap zina, apabila sel telur dan sperma yang dipertemukan ditanam ke rahim wanita lain," jelas Profesor Sulaiman lagi.[3]
Pemanfaatan rahim diluar perkawinan diharamkan, disebabkan oleh banyaknya mudharat yang ditimbulkan jika dibandingkan dengan manfaatnya. Dalam hal ini terdapat kaedah ushul yang berbunyi:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمُ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya: Menghindari mafsadah (madharat/bahaya) harus didahulukan atas mencari / menarik maslahah (kebaikan/manfaat)”.[4]
Mudharat atau bahaya yang ditimbulkan oleh proses tersebut menimbulkan kekacauan pada status ibu, yakni siapakah yang berhak menjadi ibu sejati, apakah ibu genetis atau ibu penghamil? Sementara itu kriteria penentuan ibu sejati ialah; (a) Ovum,(b) mengandung dan melahirkan, serta (c) menyusukan. Oleh karena itu, baik ibu genetis maupun ibu penghamil, keduanya tidak dapat dikategorikan sebagai ibu sejati, sebab masing-masing tidak memenuhi kriteria tersebut.
Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafidz Hilmi, Dr. Musthafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surthowi Dekan fakultas syari’ah Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat ibu sejati yang dinasabkan anak padanya ialah ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu diibaratkan ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar diqiyaskan dengan hukum susuan. Pendapat ini dibina atas dasar bahwa persenyawaan antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka.
Menurut Ulama NU dalam sidang komisi masail diniyah disela-sela muktamar ke-29 yang berlangsung di pondok cipasung tasikmalaya, memutuskan: “Penolakan tegas terhadap praktek penyewaan sewa rahim untuk kepentingan inseminasi buatan. Praktek ibu titipan tersebut dinyatakan haram dan tidak sah”. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan Imam Abu Daud, sebagai berikut:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَسْقَى مَاءَهُ الزَرْعَ غَيْرِهِ
Artinya: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan spermanya ke dalam rahim orang lain”.
Terdapat beberapa alasan yang akan menyebabkan sewa rahim dilakukan:
1. Seorang wanita tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara biasa karena ditimpa penyakit atau kecacatan yang menghalangnya dari mengandung dan melahirkan anak.
2. Rahim wanita tersebut dibuang karena pembedahan.
3. Wanita tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan, menyusukan anak, karena ingin menjaga kecantikan tubuh badannya dengan mengelakkan dari terkesan akibat kehamilan.
4. Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah putus haid (monopause).
5. Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain.[5]
C. Bentuk-bentuk sewa rahim
1. Benih istri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan istri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan yang terus, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
2. Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu titipan (sewa) selepas kematian pasangan suami istri itu.
3. Ovum istri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan istri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih istri dalam keadaan baik.
4. Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila keadaan istri ditimpa penyakit pada ovari dan rahimya.
5. Sperma dan ovum istri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim istri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini istri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari istri yang tidak boleh hamil.
ANALISA
Status anak model titipan ini persoalannya memang rumit, sebab kepada siapa status anak ini mesti diberikan. Sehingga penulis bisa menganalisa dan lebih cenderung mengatakan bahwa status anak yang dilahirkan melalui proses sewa rahim / rahim sewaan dapat dikualifikasi sebagai anak diluar perkawinan yang sah, secara otomatis kedudukan hukum dan nasabnya hanya dapat dipertalikan dengan ibu yang telah mengandung dan melahirkannya dan bukan kepada orang tua genetis. Yang berarti pula bahwa status anak itu tidak bisa disamakan dengan anak susuan karena proses pelaksanaanya juga sangat berbeda.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengingat keterbatasan kemampuan dan literatur yang ada pada penulis, apabila didepan banyak terdapat pendapat-pendapat ulama dan tokoh-tokoh islam, hal ini semata-mata untuk menunjukkan beberapa ijtihad yang dilakukan oleh beberapa ulama tersebut, akkhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwa:
- Sewa rahim merupakan suatu praktek penyelenggaraan peminjaman dan pemakaian/pemanfaatan fungsi kandungan untuk pengembangan embrio menjadi janin hingga terlahirnya seorang bayi dari rahim ibu titipan (sewaan) dengan pembayaran sejumlah uang atau dengan suatu imbalan.
- Dari Perspektif hukum islam tentang sewa rahim dinyatakan haram karena melanggar hukum islam.
B. Saran
Dalam masalah ini perlu adanya kematangan sikap dan pemahaman terhadap permasalahan yang berkaitan terhadap aspek-aspek hukum islam yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan sewa rahim. Adapun akibat-akibat hukum yang akan ditemui dalam permasalahan sewa rahim ini antara lain adanya kesulitan-kesulitan yang timbul baik menyangkut soal agama, hukum, moral dan etika, juga akibat psikologis yang menyangkut mental orang tua (ibu pengganti) dan anak terlahir nantinya. Untuk itu solusi yang dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sangat menginginkan untuk memperoleh anak bisa dilakukan dengan; mengasuh anak atau si suami menikah lagi, hal ini justru mengantisipasi kesan negatif dan akan mengangkat harkat dan martabat wanita sebagai ibu secara kodrati.
REFERENSI
- Adib Bisri, Moh.Terjemah Al faraidul Bahiyah Risalah Qawaid Fiqh.Kudus: Menara Kudus, 1977.
- http://www.indomedia.com/Bpost/052006/26/depan/utama6.htm.
- http://tibbians.tripod.com/shib3.pdf
- Rasyid, Muhammad Hamdan, K.H., DR. Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual. Jakarta: Almawardi Prima, 2003.
- Syihab,Umar, H, Dr, Prof. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Toha Putra Group, 1996.
[1] Lihat penelitian Munawaroh, “Analisa Hukum Islam dan Hukum Positf Terhadap Pelaksanaan Sewa Rahim”, (skripsi ini tidak diterbitkan, IAIRM Ponpes Walisongo Ngabar), 41
[2] http://www.indomedia.com/Bpost/052006/26/depan/utama6.htm.
[3] ibid
[4] Moh. Adib Bisri, Terjemah Al faraidul Bahiyah Risalah Qawaid Fiqh (Kudus: Menara Kudus, 1977), 24
[5] http://tibbians.tripod.com/shib3.pdf.