Wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dari padanya dan mengambil tindakan tepat untuk memastikan kesuksesan (Geoffrey G. Meredith, 1996: 5). Artinya menjadi wirausahawan berarti mampu melihat segala sesuatu untuk dimanfaatkan secara maksimal, direalisasikan menjadi sebuah bentuk usaha ekonomi guna mendapatkan keuntungan. Karenanya kemampuan ”membaca” dan kemandirian sangat diperlukan. Kewirausahaan juga merupakan wadah dimana seorang wirausahawan dapat memaparkan seluruh kreativitas yang dimilikinya sehingga dapat tercapai kemandirian, baik dari segi ekonomi maupun dari sisi psikologis.
Perjalanan hidup manusia itu memiliki berbagai macam dinamika. Ada kalanya seorang anak Adam merasakan kemiskinan, dan sebaliknya ada pula yang merasa kaya. Dalam hal ini kaya atau pun miskin tidak harus melulu dalam bentuk materi. Sebab ada yang kaya secara materi namun miskin dalam iman. Sementara itu ada pula yang memang benar-benar miskin secara materi tetapi kaya dalam hal keimanan.
Menjadi entrepreneur ternyata sudah dipelopori sejak zaman para Nabi. Contohnya Nabi Muhammad SAW. Ternyata, beliau adalah seorang pedagang. Nabi Muhammad semenjak usia 8 tahun 2 bulan sudah mulai menggembalakan kambing. Pada usia 12 tahun ke Syiria hafilah dagang, itu luar biasa jauhnya. Dan usia 25 tahun seperti yang kita bahas, Muhammad menikah dengan Siti Khadijah dengan mahar 20 ekor unta muda.
Menggapai kekayaan yang berlimpah merupakan impian setiap orang. Sayangnya dewasa ini, manusia lebih mengagungkan kekayaan materi daripada kekayaan ruhani. As Gym dalam buku saya tidak ingin kaya tapi harus kaya ini, hendak memberikan perspektif alternatif tentang kekayaan yang selama ini cenderung materialistik. Didalam buah karyanya ini Aa Gym menegaskan bahwa:
- Bagi umat Islam menjadi kaya adalah sebuah keharusan, jangan hanya sekedar keinginan.
- Kekayaan adalah sigma dari berbagai komponen. Dengan kata lain, kekayaan tidak berdimensi tunggal (kaya harta), tetapi memiliki dimensi yang luas, yakni kaya ghirah (semangat), kaya input (ilmu, wawasan, dan pengalaman), kaya gagasan (ide dan kreativitas), kaya ibadah (amal, kaya hati, dan bonusnya kaya harta).
- Kekayaan ruhani lebih hakiki daripada kekayaan materi semata.
- Setiap muslim wajib menjemput kekayaan materi maupun kekayaan hakiki yang memiliki nilai tambah (added value).
- Tolok ukur kekayaan adalah keberkahan (bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dunia dan akhirat).
Perspektif tersebut paling tidak dapat memberikan pencerahan (enlightment) sekaligus memberikan kesadaran baru pada manusia tentang pentingnya meraih kekayaan yang hakiki.
Siapa yang menolak jadi jutawan atau milyarder? Semua orang pasti ingin jadi orang kaya. Laki-laki ingin kaya, perempuan ingin kaya, orang kampung ingin kaya, dan orang kota pun pasti ingin kaya. Seseorang dengan uang melimpah bisa membeli semua komoditas yang dibutuhkan. Mau baju bagus, ia bisa membelinya di toko ternama di kotanya. Ingin rumah mewah, ia bisa membeli rumah di kawasan elite yang cenderung dihuni oleh orang-orang dari lapisan atas. Bagaimana dengan nasib orang miskin? Jangankan untuk beli baju bagus atau rumah mewah, untuk nasi bungkus saja mereka harus kerja seharian, baru mereka bisa makan.
Tidaklah salah jika seseorang bercita-cita menjadi orang kaya. Yang salah adalah jika ada yang menyatakan bahwa kekayaan adalah suatu kemuliaan, dan kemiskinan adalah suatu kehinaan. Tapi sebenarnya, kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Allah bagi hamba-hamba-Nya. Ironisnya, jika Allah mengujinya dengan memberikan kesenangan-kesenangan, maka ia akan berkata bahwa Allah telah memuliakannya, sedangkan jika Allah mengujinya dengan membatasi rizkinya maka ia berkata, "Allah telah menghinakanku!" Tipe orang semacam itu adalah orang yang mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
Kekayaan yang melimpah ruah dapat menyebabkan seseorang itu mulia. Sebab, ia menggunakan hartanya di jalan Allah dan membelanjakannya untuk mencari keridhaan Allah. Dan perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya untuk mencari keridhaan Allah seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram hujan lebat, maka kebun itu akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun memadai (QS 2: 265).
Dan sebaliknya, kekayaan juga dapat menyebabkan seseorang menjadi boros, sombong serta merasa ekslusif, dan serakah. Seorang yang boros membelanjakan hartanya hanya untuk kepuasan nafsunya. Apa pun itu, jika menyangkut kepuasan hatinya, ia akan kuras seluruh isi kantongnya. Tapi sayangnya, jika hal itu menyangkut kebaikan orang banyak dan bernilai amal, maka ia akan berpura-pura menjadi orang yang pailit. Intinya, selain menjadi boros, ia juga akan diserang penyakit pelit.
Sekali lagi, Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang kaya. Nabi Muhammad adalah seorang kaya raya, demikian juga para sahabat, selain kaya mereka juga berprestasi, sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Walaupun mereka kaya, tapi hidup mereka sederhana, intinya menjalankan kehidupan yang proporsional. Bukan saja kebahagiaan dunia yang didapat, namun akhirat pun tetap menjadi tujuan hidupnya.
Dalam buku Arif Sirsaeba (berani kaya berani takwa), berkali-kali beliau memaparkan kepada kita, bahwa Rasulullah Saw lebih suka bila umatnya kaya-kaya dan takwa-takwa. Rasulullah Saw tidak merasakan tabu jika membicarakan soal harta, uang, kekayaan, ataupun materi lainnya, karena kebanyakan dari kita masih merasa tabu, risih, tidak etis jika berbicara tentang uang, karena takut dicap materialistis.Apalagi jika masalah uang dikaitkan dengan masalah dakwah ataupun kegiatan agama.
Apakah Rasulullah Saw bersikap materialistis?jelas tidak, tapi Rasulullah Saw sangatlah sadar bahwa perjuangan Islam membutuhkan biaya yang tidak sedikit, pergi haji membutuhkan dana yang cukup besar, bersilaturrahmi ke famili perlu biaya, begitu juga kita dalam membangun kemandirian di dunia wirausaha kaya materi sangat perlu sekali sebagai modal untuk usaha disamping kaya ruhani yang sudah dijelaskan diatas.
Bagi kita orang muslim yang sukses atau menuju kesuksesan khususnya dalam berwirausaha adalah orang yang kaya dalam tiga hal yaitu kaya iman, kaya ilmu, dan kaya harta. Keimanan bernilai jauh lebih mahal daripada lainnya, karena meski menjadi kaya memang penting, tapi mengetahui apa yang akan kita lakukan setelah kita menjadi kaya adalah hal yang sangat lebih penting.
Berbagai ulasan tentang kewirausahaan menyatakan, ternyata modal dasar untuk sukses bukanlah kapital (kekayaan uang). Uang hanyalah sarana. di sebuah forum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Abu Rizal Bakrie memaparkan bahwa, ‘ide’ adalah modal yang mampu menggerakan jalan menuju keberhasilan yang jika dimanfaatkan secara positif akan dapat diwujudkan menjadi sebuah bentuk usaha yang dapat berkembang.
Dengan demikian, berwirausaha sesungguhnya bukan hanya sebatas cara mencari uang atau bentuk profesi, namun lebih dari itu berwirausaha merupakan bentuk aktualisasi untuk mampu mengasah dan memaksimalkan potensi diri, tidaklah salah jika sekarang ada keinginan untuk mulai berfikir melakukan perubahan orientasi masa depan, dengan merealisasikan secara kongrit bentuk kemandirian ekonomi melalui jalan berwirausaha. Hal itu, dapat dimulai dari yang paling dimengerti dan paling mudah serta sering dilakukan oleh masing-masing orang dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti dari pengalaman pekerjaan, pendidikan, hobi, lingkungan dan banyak lagi macamnya. Dan memang, salah satu tawaran sekaligus tantangan jika ingin sukses, dan menjadi jutawan; jadilah wirausahawan. Anda tertarik?…………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar